JAKARTA, Tim Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan atau Gulkarmat DKI Jakarta terus mencari sebelas orang yang dilaporkan hilang akibat kebakaran di Glodok Plaza, Jakarta Barat yang terjadi pada Rabu (15/1/2025) malam menyebabkan lima kantong jenazah diterima oleh RS Polri Kramat Jati.
Kepala Seksi Darurat dan Penanganan Pengungsi Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD DKI Jakarta, Wardoyo, menyatakan bahwa 15 personel telah dikerahkan untuk mendukung pencarian dan penanganan korban.
"Kami juga mendirikan posko serta menyiapkan ambulans untuk membantu evakuasi, " ujarnya, Kamis (16/1/2025).
Berdasarkan laporan keluarga, orang hilang tersebut adalah Aulia (29), Delima (25), Deri (25), NN (perempuan), dan Aldrina (29), proses pencarian dilakukan bersamaan dengan upaya pendinginan gedung yang terbakar.
Namun, menurut laporan terbaru, korban hilang mencakup nama-nama lainnya yang jumlahnya menjadi sebelas orang.
Kepala RS Polri Brigjen Prima Heru Yulihartono mengungkapkan bahwa lima kantong jenazah telah diterima sejak kebakaran terjadi. "Instalasi forensik kami terus bekerja untuk mengidentifikasi jenazah, " kata Prima Heru, Jumat (17/1/2025) seperti dilansir kantor berita antaranews.
Di balik musibah ini, Glodok memiliki sejarah panjang sebagai salah satu pusat perbelanjaan ikonik di kawasan Pecinan Jakarta. Berikut adalah kisahnya:
Monaco dari Hindia-Belanda Minus Montecarlo
Baca juga:
AstraPay Tebar Kurban Nusantara
|
Berawal dari sebuah tempat pemberhentian kuda untuk minum, kawasan Glodok telah berkembang menjadi pusat perekonomian yang sibuk di Jakarta. Banyak spekulasi mengenai asal-usul nama Glodok. Dua teori utama menyebutkan bahwa Glodok berasal dari:
1. Galodog (Bahasa Sunda), yang berarti tangga kecil menuju rumah.
2. Grojok, suara air yang jatuh dari pancuran atau ketinggian. Dulu, masyarakat sering menyebut air terjun dengan nama grojogan. Kata ini juga sering digunakan masyarakat Jakarta pinggiran untuk pintu air sebagaimana ditulis dalam buku Toponimi Jakarta Barat yang kami akses melalui budbas.data.kemdikbud.go.id.
Namun, spekulasi pertama mungkin tidak masuk akal. "Sebab, tidak ada catatan orang Sunda bermukim di kawasan yang saat ini bernama Glodok, " kata Buku itu. Di buku Toponimi Jakarta Barat ini juga ditulis, kutipan seorang penulis novel bergaya humor asal Amsterdam, Justus van Maurik yang menggambarkan
Glodok adalah Monaco dari Hindia-Belanda, minus Montecarlo. Maurik menulis pengumpamaan itu dalam bukunya Indrukken van een Tòtòk terbitan Den Haag 1965.
Pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC, perusahaan dagang Belanda yang dibentuk untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Asia, khususnya di Nusantara, kawasan Glodok dikenal dengan pancuran air yang menjadi sumber utama bagi pelaut dan pedagang untuk mengisi perbekalan air minum. Pancuran tersebut terletak di sekitar Jl Pancoran saat ini, dekat Kali Besar. Kala itu, pancuran air ini tidak hanya menjadi tempat strategis untuk logistik, tetapi juga untuk transaksi perdagangan.
Namun, aktivitas perdagangan sering diwarnai konflik. Persaingan antara pedagang lokal dan pelaut asing sering terjadi, termasuk penyelundupan rempah-rempah yang memanfaatkan keramaian di kawasan tersebut.
Pada tahun 1740, tragedi besar menimpa komunitas Tionghoa di Batavia. Ribuan etnis Tionghoa menjadi korban pembantaian, sementara yang selamat dipindahkan oleh VOC ke luar tembok kota, termasuk ke wilayah Glodok. Kawasan ini kemudian dikenal sebagai kampung Cina atau Chineesche Kamp seperti yang tercatat pada peta tahun 1810.
Nama Glodok sendiri dipercaya sudah ada sebelum tragedi 1740, meski bentuknya belum menjadi pemukiman besar. Transformasi kata "grojok" menjadi "glodok" diduga akibat adaptasi bahasa, di mana pengucapan "r" oleh komunitas Tionghoa mengalami perubahan menjadi "l". Dalam waktu singkat, istilah ini melekat menjadi nama resmi kawasan.
Seiring waktu, Glodok berkembang menjadi pusat perdagangan penting. Kanal-kanal yang dulu menjadi jalur distribusi air perlahan berubah fungsi. Beberapa nama jalan di kawasan ini menyimpan jejak sejarah, seperti Gang Kalimati, yang diyakini sebagai penghormatan terhadap korban tragedi 1740.
Kawasan Blandongan di Glodok menjadi saksi akulturasi budaya Tionghoa dengan masyarakat setempat. Nama Blandongan berasal dari istilah Hokkien "landung, " yang menggambarkan topografi jalan menikung di wilayah tersebut. Hingga kini, Glodok tetap menjadi simbol budaya Tionghoa di Jakarta, dengan keberadaan pasar tradisional, kuil, dan berbagai bangunan bersejarah. (bp)